Rabu, 19 Februari 2014

Perlukah Asuransi Jiwa?

Perlukah asuransi jiwa?

Pada saat dihadapkan pertanyaan "perlukah asuransi jiwa?", sebagian terbesar dari kita menganggap tabu. Koq jiwa diasuransikan, seolah-olah mendahului takdir. Manusia kan tidak berwenang atas jiwa, jadi apa alasan logis untuk diasuransikan? Dan masih banyak kalimat spontan stereotip yang dilontarkan pada saat mendengar atau mendapat tawaran asuransi jiwa.

Tahukah kamu, asuransi jiwa bukanlah menjamin jiwa kamu tetap hidup sampai waktu tertentu, Asuransi diadakan untuk mengelola resiko, mengalihkan resiko kepada pihak ketiga (perusahaan asuransi dalam hal ini). Apa resiko yang terjadi? Resiko yang terjadi adalah ketidakmampuan memperoleh penghasilan lagi karena:

  1. Meninggal dunia,
  2. Sakit kritis (jantung, stroke, kanker dll.),
  3. Cacat tetap,
sedangkan pemberi nafkah utama (bila tidak meninggal) dan keluarga tercinta masih membutuhkan biaya untuk kelangsungan kehidupannya yang berkualitas. Tentu akan sangat berat bila ditanggung sendiri tanpa pertolongan dari pihak ketiga. Bisa saja menabung atau mendepositokan terus menerus, namun karena tidak diikutkan asuransi maka, penghasilannya dan dana tersedia saat kritis terjadi hanya sejumlah tabungan atau deposito beserta tambahannya. Sisi lainnya, tidak ada lagi tambahan penghasilan karena sudah tidak bekerja.

Nah, asuransi salah satu perannya adalah meneruskan premi, meski nasabah tidak mampu membayarnya, sampai batas waktu yang telah disepakati, dan saat jatuh tempo dia atau ahli warisnya dapat memperoleh uang pertanggungan (UP) atau nilai tunai (klaim sebelum jatuh tempo berakhir), bila ada diperjanjikan selain manfaat lain yang diperjanjikan.

Berikut dua ilustrasi antara menabung biasa dengan asuransi:




Sudahkah kita persiapkan masa-masa yang tidak kita inginkan terjadi?